Komunitas Adat Laman Kinipan Hanya Ingin Hutan Adat Tak Dibabat Lagi
Ketua Komunitas Adat Laman Kinipan Effendi Buhing mengaku tidak terlibat dalam kasus perampasan dan pencurian. Ia menekankan bahwa kasus itu muncul karena gencarnya penolakan terhadap alih fungsi lahan di desanya.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Ketua Komunitas Adat Laman Kinipan Effendi Buhing mengaku tidak terlibat dalam kasus perampasan ataupun pencurian. Ia menekankan bahwa kasus itu muncul karena gencarnya penolakan terhadap alih fungsi lahan di desanya.
Effendi Buhing sudah kembali ke rumahnya karena penahanannya ditangguhkan. Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Kalimantan Tengah Hendra Rochmawan menjelaskan, Effendi Buhing dan empat anggota komunitasnya tidak ditahan lantaran berjanji akan kooperatif.
”Effendi Buhing bersedia hadir oleh penyidik guna pemeriksaan, demikian halnya dengan empat anggotanya,” kata Hendra melalui pesan singkat, Jumat (28/8/2020).
Hendra masih mencari informasi terkait status Effendi Buhing dalam kasus dugaan perampasan mesin potong milik PT Sawit Mandiri Lestari (SML) dalam peristiwa 22 Juni 2020.
Sebelumnya, Effendi Buhing dan empat anggota komunitas ditangkap dan ditahan di polda dengan dugaan kasus perampasan mesin pemotong dan pengancaman ke petugas PT Sawit Mandiri Lestari di Kabupaten Lamandau.
Kemudian pada Kamis (27/8/2020) petang penahanan kelimanya ditangguhkan. Hendra belum bisa menjelaskan lebih jauh soal lanjutan kasus pidana perampasan tersebut.
Menanggapi hal itu, Effendi Buhing mengungkapkan, dirinya tidak berada di lokasi saat peristiwa tersebut terjadi. Ia mengungkapkan kepada Kompas bahwa peristiwa tersebut merupakan respons dari masyarakat yang tidak ingin wilayah kelola adatnya dialihfungsikan menjadi perkebunan sawit.
”Permintaan kami sederhana, kami tidak ingin hutan kami dibabat lebih luas lagi, itu saja,” katanya.
Buhing menjelaskan, ia pun tak akan kuasa menahan masyarakat yang memperjuangkan lahannya. Kekesalan masyarakat sudah berangsur lama lantaran lambatnya respons pemerintah menyelesaikan masalah di Kinipan.
”Setahun lalu kami bahkan buat laporan ke mana-mana, mulai dari Komnas HAM, Kantor Staf Presiden. Saya juga sudah bolak-balik ke Jakarta. Tetapi sampai sekarang belum mendapatkan jawaban,” ujar Buhing.
Kasus perampasan itu bermula ketika Effendi Buhing dan anggotanya membuat pos jaga di batas akhir pembukaan hutan milik perusahaan. Di pos itu, pada 22 Juni 2020, anggota komunitas adat meminta perusahaan berhenti beroperasi hingga masalah mereka selesai.
Kuasa hukum Riswan dan tersangka lainnya, Parlindungan Hutabarat, mengungkapkan, saat penangkapan, obyek yang disangkakan atau barang bukti tidak ada di tangan Riswan. Ia bahkan tidak tahu di mana barang bukti itu berada lalu tiba-tiba muncul dalam pemeriksaan.
”Saat ini kami lihat saja perkembangannya seperti apa. Yang jelas mereka bukan pencuri, tetapi mereka mempertahankan wilayah kelola adatnya,” kata Parlindungan.
Konflik lahan
Konflik di Kinipan sudah berlangsung sejak 2012. Setelah mendapatkan izin, warga Kinipan mulai bergerak menolak lantaran izin pelepasan kawasan hutan dan hak guna usaha (HGU) diberikan tanpa sepengetahuan warga Kinipan.
Wendy dari Humas PT Sawit Mandiri Lestari (SML) mengungkapkan, sebagian besar warga Kinipan sebenarnya menerima perusahaan. Kelompok yang menolak hanyalah Komunitas Adat yang dipimpin Effendi Buhing. Menurut mereka, komunitas itu tidak merepresentasikan seluruh warga Kinipan.
”Ada tuntutan yang diubah dari tuntutan masyarakat adat menjadi tuntutan Effendi Buhing. Selain itu, kami heran mengapa perusahaan kami yang diserang, padahal kontribusi kami ke desa-desa sudah jelas,” kata Wendy.
Menanggapi hal itu, Effendi Buhing mengungkapkan, benar ada sekitar 74 keluarga dari 205 keluarga di Desa Kinipan yang mendukung perusahaan. Namun, hal itu ia ragukan karena sebagian dari 74 keluarga tersebut tidak tahu namanya masuk dalam daftar dukungan ke perusahaan.
Buhing menjelaskan, saat ini sekitar 2.300 hektar, atau setengah ukuran luas wilayah Kota Yogyakarta, sudah dibuka dan masuk wilayah kelola adat. Namun, pihaknya legawa.
”Kami minta sederhana, cukup sudah sampai di 2.300 hektar itu saja, jangan ditambah lagi. Perusahaan berhenti sudah beroperasi sampai di situ,” kata Buhing.