Peluang Pariwisata Kebal Korona
Walaupun virus korona dan ”travel advice” merebak di seantero dunia, pariwisata Indonesia masih berpeluang merebut pasar. Kunjungan wisatawan domestik juga sangat potensial dioptimalkan.
Sejumlah negara kini gencar mengimbau warganya untuk menunda sementara waktu perjalanan ke berbagai belahan dunia, khususnya kawasan yang dilaporkan kasus positif Covid-19. Upaya pemerintah untuk meningkatkan angka kunjungan wisatawan asing melalui program destinasi superprioritas tampaknya akan terkendala.
Menurut laporan lembaga kesehatan dunia WHO, hingga 5 Maret 2020, virus korona tipe baru itu menyebar di 79 negara. Jumlah penderita yang dilaporkan secara global untuk sementara waktu mencapai 95.270 kasus, dengan jumlah kematian mencapai 3,4 persen atau 3.280 kasus.
Sebanyak empat negara mencatat jumlah temuan penderita terbanyak di seluruh dunia. Pertama adalah China dengan 80.000-an kasus, Korea Selatan dengan 5.300-an kasus, Italia sekitar 2.500 kasus, dan Iran lebih kurang 2.300 kasus. Indonesia pada 2 Maret lalu secara resmi juga menyatakan terdapat laporan dua pasien positif Covid-19.
Secara global, segala kegiatan ekonomi yang saling terhubung lintas negara terdampak dari merebaknya virus korona. Salah satu sektor yang diprediksikan akan terimbas adalah pariwisata yang fokus utamanya pada kedatangan turis-turis asing. Padahal, tahun ini Pemerintah Indonesia justru sedang berusaha mendatangkan turis mancanegara dengan mengakselerasi sejumlah program pada destinasi wisata superprioritas.
Gejala kelesuan pariwisata akibat merebaknya virus korona ini sudah tampak dari dibatalkannya sejumlah acara besar skala dunia. Pameran teknologi yang digawangi perusahaan raksasa dunia seperti Microsoft, Facebook, Amazon, dan Google urung dilaksanakan awal tahun ini. Pameran otomotif bergengsi dunia seperti Beijing Motor Show dan Geneva Motor Show yang merupakan etalase penting bagi mobil-mobil papan atas juga dibatalkan.
Kondisi tersebut kian diperparah dengan batalnya pameran pariwisata Internationale Tourismus-Borse (ITB) di Berlin, Jerman. Padahal, bursa pariwisata terbesar di dunia ini merupakan salah satu pameran penting untuk memasarkan wisata Indonesia. Ajang ITB Berlin akan diikuti 10.000 peserta pameran dari sekitar 180 negara dan diperkirakan dihadiri 160.000 pengunjung.
Baca juga : Pariwisata Tergerus Dampak Virus
Pada Januari 2020, jumlah kedatangan turis luar negeri mencapai 1,27 juta orang. Angka ini lebih banyak jika dibandingkan dengan Januari pada tahun-tahun sebelumnya. Artinya, terjadi peningkatan turis asing pada awal tahun ini.
Hanya saja, fenomena positif tersebut karena Indonesia waktu itu belum terimbas isu wabah Covid-19. Baru pada pertengahan Januari 2020, Covid-19 mulai merebak ke beberapa negara setelah ditemukannya kasus virus itu pertama kali di wilayah Wuhan, China.
Pelaporan terbanyak terjadi pada 13 Februari 2020 dengan jumlah kasus hingga 15.200. Pada saat itu, Indonesia relatif tenang karena belum ada kasus positif Covid-19 di dalam negeri meski dunia internasional menyangsikan pelaporan pemerintah. Baru pada awal Maret 2020 ditemukan dua kasus positif Covid-19 di Indonesia yang seketika itu langsung membuat kegaduhan.
Sementara itu, jika diselisik setiap tahun, pertumbuhan wisatawan mancanegara trennya terus mengecil. Pada tahun 2016-2019, kunjungan turis asing ke Indonesia rata-rata naik sekitar 1,5 juta orang per tahun. Pertumbuhan terkecil terjadi pada 2019.
Kedatangan turis asing hanya tumbuh kurang dari 2 persen atau naik sekitar 296.000 orang dari tahun sebelumnya. Pencapaian jumlah wisatawan mancanegara sepanjang tahun 2019 yang sebanyak 16,11 juta orang itu masih jauh dari target yang ditetapkan, yakni 20 juta turis. Tanpa adanya wabah Covid-19, kiprah pariwisata Indonesia di kancah global lamban bersinar.
Gejala kelesuan pariwisata akibat merebaknya virus korona sudah tampak dari dibatalkannya sejumlah acara besar skala dunia. Pameran teknologi yang digawangi perusahaan raksasa dunia seperti Microsoft, Facebook, Amazon, dan Google urung dilaksanakan awal tahun ini.
Revisi target
Pada tahun 2020, pemerintah sepertinya merasionalisasi target kunjungan turis internasional berkurang menjadi 18 juta orang. Wisatawan asing diharapkan mampu mendatangkan devisa negara hingga 20 miliar dollar AS atau sekitar Rp 280 triliun.
Rasionalisasi ini agaknya tercapai dengan mudah dalam perhitungan di atas kertas. Apalagi, pemerintah sudah berusaha seoptimal mungkin untuk membangun sejumlah infrastruktur pendukung di lima obyek wisata superprioritas nasional. Selain itu, pemerintah juga berupaya gencar memasarkan pariwisata Indonesia di kancah global.
Meski demikian, pemerintah agaknya harus berbesar hati untuk merasionalisasi ulang target kunjungan turis asing, lebih rendah dari angka 18 juta orang pada tahun ini. Rasionalisasi ini berdasarkan kenyataan bahwa 10 besar negara asal turis yang mengunjungi Indonesia adalah negara-negara yang terjangkiti Covid-19.
Baca juga : Krisis Global, Mengapa Kunjungan Turis Asing Meningkat?
Dari 10 negara ini, ada empat yang sangat besar arus kunjungan turisnya ke Indonesia, yakni China, Singapura, Malaysia, dan Australia. Keempat negara ini masing-masing lebih dari 1,3 juta warganya mengunjungi Indonesia setiap tahun. Sayangnya, keempat negara ini juga termasuk dalam 20 besar negara dengan kasus penyebaran virus korona terbanyak di dunia. Bahkan, China merupakan negara dengan kasus Covid-19 terbesar di dunia. Sekitar 86 persen kasus global saat ini terjadi di ”Negeri Tirai Bambu” itu.
Baca juga : Sisi Lain Wisata Superprioritas
Rasionalisasi ulang target kunjungan wisatawan asing juga menjadi masuk akal mengingat larangan wisata yang dikeluarkan pemerintah. Pada 5 Maret 2020, pemerintah resmi mengeluarkan larangan bagi turis dan pendatang yang berasal dari Iran, Italia, dan Korsel. Ketiga negara ini adalah negara yang berada pada posisi empat besar temuan kasus Covid-19 di dunia setelah China.
Pendatang dan turis yang berasal dari ketiga negara tersebut perlu menyertakan sertifikat sehat dari negaranya agar bisa masuk atau transit di Indonesia. Aturan itu berlaku bagi pendatang atau traveler yang dalam 14 hari terakhir melakukan perjalanan ke negara tersebut. Kebijakan larangan tersebut tentu saja kontraproduktif dengan upaya pemerintah menarik sebanyak-banyaknya kehadiran wisatawan asing.
Upaya kreatif
Seiring dengan merebaknya virus korona baru di seantero dunia, pemerintah harus berupaya lebih kreatif lagi mendorong sektor pariwisata. Salah satunya adalah mendorong kunjungan wisatawan domestik ke seluruh obyek wisata lokal.
Apabila dikalkulasi, total uang yang dibelanjakan oleh turis asing dan wisatawan lokal sebenarnya terpaut relatif jauh. Data Neraca Satelit Pariwisata (Nesparnas) 2017 dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan total kontribusi turis asing dalam pariwisata di Indonesia berkisar Rp 198 triliun.
Angka ini terpaut jauh dengan pengeluaran wisatawan domestik yang mencapai Rp 253 triliun. Kondisi ini mengindikasikan besarnya potensi wisatawan domestik.
Pada tahun 2018, dari 34 provinsi di Indonesia, ada enam yang memiliki tingkat perjalanan wisatawan nusantaranya tergolong paling tinggi. provinsi tersebut adalah Sumatera Utara, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, dan Banten.
Baca juga : Target Pariwisata Masih Meleset
Penduduk yang melakukan perjalanan wisata dari enam wilayah ini rata-rata lebih dari 4 juta orang per provinsi. Bahkan, untuk wilayah Provinsi Jabar, Jateng, dan Jatim, jumlah penduduk yang berekreasi masing-masing lebih dari 24 juta orang.
Angka perjalanan wisata tersebut sangat potensial untuk ditingkatkan lagi. Apalagi, jika pemerintah memberikan insentif pariwisata antardaerah sehingga tarif perjalanan, baik moda transportasi darat, laut, maupun udara, menjadi lebih murah lagi.
Data Nesparnas juga dapat mengidentifikasikan bagaimana cara menggaet kunjungan wisata dengan target turis domestik. Dari struktur pengeluaran terlihat bahwa mayoritas pengeluaran wisatawan lokal digunakan untuk makan dan minum sekitar 30 persen dan belanja sekitar 17 persen. Adapun turis mancanegara cenderung membelanjakan uangnya lebih banyak untuk akomodasi seperti hotel dan penginapan sekitar 40 persen dan untuk makanan-minum sekitar 18 persen.
Hal ini mengindikasikan, turis luar negeri cenderung memprioritaskan akomodasi untuk kenyamanan serta kuliner berkualitas. Artinya, pasar turis asing tetap berpeluang diraih jika pemerintah dapat mengemas promosi paket wisata yang melekat dengan hotel, restoran, dan tempat makan berkualitas. Sementara strategi pemasaran kuliner yang melekat dengan obyek wisata bisa menjadi faktor penarik kuat bagi wisatawan domestik.
Walaupun virus korona dan travel advice merebak di seantero dunia, pariwisata Indonesia masih berpeluang merebut pasar. Kunjungan wisatawan domestik juga sangat potensial dioptimalkan. Kuncinya, pemerintah dan pelaku bisnis pariwisata harus jeli dan kreatif untuk menggarap pasar dalam negeri ini. (LITBANG KOMPAS)