Mengantisipasi Gaya Baru Mobilitas Warga
Pandemi Covid-19 telah mengubah pola pergerakan warga di berbagai belahan dunia. Jika terus berlangsung, kondisi ini dapat menjadi gaya baru kehidupan penduduk bumi yang perlu diantisipasi.
Pandemi Covid-19 telah mengubah pola pergerakan warga di berbagai belahan dunia. Jika terus berlangsung, kondisi ini dapat menjadi gaya baru kehidupan penduduk bumi yang perlu diantisipasi.
Virus korona tipe baru penyebab penyakit Covid-19 menyebar sangat cepat. Berawal dari konfirmasi kasus pertama di Wuhan, China, pada 8 Desember 2019, kini kasus serupa telah ditemukan hampir di seluruh negara. Menurut laporan Johns Hopkins University, hingga 3 Mei 2020, Covid-19 telah tersebar di 187 negara. Jika mengacu data Perserikatan Bangsa-Bangsa, angka ini setara dengan 96,9 persen dari total 193 negara di dunia.
Mengantisipasi hal itu, setiap negara lalu membuat kebijakan untuk meredam meluasnya penyebaran virus. Contohnya, kota Wuhan sempat memberlakukan penguncian wilayah atau lockdown mulai 23 Januari 2020. Hal ini juga dilakukan Malaysia sejak 18 Maret 2020, Thailand per 26 Maret 2020, dan Singapura dengan lockdown parsialnya per 7 April 2020.
Melalui kebijakan ini, warga dilarang melakukan perjalanan yang tidak penting. Perjalanan yang masih diperbolehkan di antaranya belanja makanan, belanja perawatan medis, atau berolahraga. Hanya, ada sejumlah bisnis yang tetap diizinkan beroperasi, seperti bank, supermarket, pasar, rumah sakit, apotek, toko ritel, dan SPBU.
Jika harus bepergian ke luar rumah, warga harus mematuhi jaga jarak fisik minimal 1 meter, memakai masker, dan menjaga higienitas.
Meski demikian, tak semua negara memberlakukan kebijakan ini. Sejumlah negara justru terpantau lebih memilih kebijakan yang lebih longgar. Contohnya penerapan darurat nasional Jepang sejak 7 April 2020. Berbeda dengan lockdown, semua pengusaha di Jepang diizinkan membuka bisnis mereka. Jika diperlukan, warga juga masih dimungkinkan melakukan perjalanan untuk bekerja.
Baik lockdown maupun bukan, kebijakan ini sama-sama menggiring warga agar mengurangi kontak sosial dan lebih banyak beraktivitas di rumah. Jika harus bepergian ke luar rumah, warga harus mematuhi jaga jarak fisik minimal 1 meter, memakai masker, dan menjaga higienitas. Semua ini demi menghindari penularan virus antarmanusia melalui droplet/rintik dari bersin atau batuk.
Baca juga : Tips Berolahraga di Rumah dan Menjaga Kesehatan Selama Masa Pandemi Covid-19
Menurunnya mobilitas
Seiring kebijakan yang diberlakukan banyak negara, pergerakan warga di berbagai belahan dunia juga mendadak lesu. Kondisi ini terlihat dari data yang disajikan Moovit, ”Impact of Covid-19 on Public Transit Usage”. Empat bulan terakhir, rata-rata data mingguan penggunaan transportasi umum melalui aplikasi Moovit di 33 negara menurun.
Penggunaan transportasi umum mayoritas menurun tajam pada Maret 2020. Di Asia Tenggara, hal itu terlihat di kota Kuala Lumpur, Bangkok, dan Jakarta. Tren ini terjadi seiring dengan waktu pemberlakuan lockdown. Terkecuali DKI Jakarta, yang meski tidak ada lockdown, pada bulan yang sama mulai diterapkan kebijakan belajar dan bekerja di rumah.
Semakin lama pandemi ini berlangsung, pergerakan warga menggunakan transportasi umum juga menurun. Bahkan, di sejumlah negara, penurunannya hampir menyentuh angka 100 persen. Contohnya adalah Kuala Lumpur yang turun hingga 93,4 persen pada 30 April 2020. Begitu juga Jakarta (91,6 persen), Tokyo (91,4 persen), Bangkok (77,9 persen), Singapura (76,7 persen), dan Seoul (46,3 persen).
Baca juga : Olahraga untuk Imunitas Tubuh
Tidak hanya transportasi umum, tren penggunaan kendaraan pribadi juga terpengaruh. Hal ini terlihat dari penurunan angka kemacetan yang disajikan perusahaan aplikasi Tomtom. Angka kemacetan di Bangkok pada Senin, 27 April 2020, pukul 07.00, misalnya, hanya 23 persen. Angka ini menurun 62 persen dari rata-rata angka kemacetan pada hari dan waktu yang sama tahun 2019.
Selain Bangkok, penurunan angka kemacetan juga terjadi hampir di semua negara. Dalam kondisi waktu yang sama, kemacetan di Kuala Lumpur turun hingga 57 persen, Singapura 56 persen, Jakarta 39 persen, dan Tokyo 32 persen. Lesunya pergerakan warga ini akan mudah pulih jika pandemi segera berakhir, tetapi beda cerita jika kondisi ini terus berlangsung lebih lama.
Gaya baru
Hingga kini belum ada yang tahu pasti kapan akhir pandemi Covid-19. Jika terus berlangsung dalam periode waktu yang lebih lama, kebiasaan mobilitas warga ini dapat menyebabkan sejumlah efek. Menurut tulisan ”The Effect of Covid-19 and Subsequent Social on Travel Behavior” (De Vos, 2020), setidaknya ada dua pengaruh yang akan muncul.
Pertama, akan mengubah perilaku mobilitas warga. Semakin banyak warga menghabiskan waktu bersama saudara, keluarga, atau teman dekat di rumah. Kegiatan belajar dan bekerja dapat dilakukan dari rumah. Jumlah kegiatan luar ruang, seperti konser musik dan pertandingan olahraga, juga semakin berkurang.
Tak heran, seperti yang dilaporkan Moovit dan Tomtom, tingkat kemacetan dan jumlah pengguna transportasi umum berkurang. Kondisi ini dibarengi dengan menurunnya angka kecelakaan lalu lintas. Senada dengan data Polres Metro Jakarta Selatan, selama pembatasan sosial berskala besar (PSBB), tingkat kecelakaan menurun 30-40 persen (Kompas.com, 28/4/2020). Mobilitas warga di pusat perbelanjaan juga berkurang.
Baca juga : Tetap Bugar di Tengah Pembatasan Sosial
Sebagai gantinya, tren belanja melalui media daring terus meningkat, mulai dari makanan, pakaian, hingga perlengkapan rumah tangga. Warga juga akan cenderung menghindari transportasi umum agar terhindar dari penyebaran virus melalui kontak fisik banyak orang di halte atau stasiun.
Bagi yang memiliki akses kendaraan pribadi, seperti mobil dan sepeda motor, warga akan beralih ke moda itu. Namun, jika tidak memungkinkan, warga akan tetap menggunakan transportasi umum dengan menghindari jam-jam sibuk. Anjuran jaga jarak fisik menjadi sulit diterapkan jika jadwal keberangkatan dan jumlah sarana transportasi umum yang beroperasi dikurangi.
Efek kedua adalah pengaruhnya terhadap kondisi kesehatan warga. Lamanya kegiatan di rumah dengan minim interaksi sosial dan pengembangan diri dapat menyebabkan stres, kebosanan, dan depresi. Ketika dalam waktu lama warga tidak melakukan perjalanan atau berwisata, bepergian tanpa arah/tujuan dapat menjadi salah satu pelipurnya.
Baca juga : Protokol Kesehatan di Transportasi Publik Jangan Berhenti Pascapandemi
Warga akan mewujudkannya dengan berjalan kaki, joging, bersepeda, atau keliling kota sebagai aktivitas rekreasi. Melalui kegiatan ini, seseorang dapat menikmati sensasi kecepatan, menjelajah lingkungan, dan menikmati pemandangan indah sekitar. Tanpa disadari, hal itu kemudian dapat menciptakan emosi positif bagi setiap individu yang melakukannya.
Selain memengaruhi kesehatan jiwa, lama kegiatan di rumah juga dapat mengganggu kesehatan fisik. Gangguan kesehatan ini dapat berupa obesitas, diabetes, dan penyakit kardiovaskular atau penyakit jantung. Potensi ini dapat muncul seiring berkurangnya gerak fisik warga di aktivitas luar ruang.
Baca juga : Cerita Mereka yang Santai Saja Melanggar Aturan Pembatasan Sosial
Padahal, agar kebugaran tubuh tetap terjaga, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memiliki standar durasi kegiatan fisik yang harus dipenuhi. Melalui laman resminya disebutkan, orang dewasa usia 18-64 tahun dianjurkan melakukan aktivitas fisik aerobik intensitas sedang setidaknya 150 menit per minggu. Durasi ini dapat berkurang menjadi 75 menit jika dilakukan dengan intensitas tinggi.
Upaya antisipasi
Beberapa waktu terakhir, sejumlah negara di Eropa, Amerika Utara, dan Amerika Latin secara temporal terpantau menyulap jalan rayanya menjadi jalur pedestrian dan jalur sepeda. Inisiatif ini dilakukan untuk memberikan stimulus bagi warganya supaya lebih banyak melakukan gerak fisik demi menjaga kebugaran tubuh.
Tidak hanya itu, beberapa perlengkapan juga ditambahkan demi mempermudah akses pejalan kaki dan pesepeda. Mulai dari larangan mobil melewati jalan lokal dan tempat parkir sepeda portabel di sejumlah titik jalur. Di sejumlah negara, sebut saja Australia, bahkan telah dipasang sistem yang memungkinkan pedestrian penyeberang jalan tanpa harus menekan tombol.
Di lain hal, makin berkurangnya tingkat kemacetan dan angka kecelakaan di jalan raya juga berefek positif. Sebab, hal itu dapat mengurangi potensi kecelakaan bagi pedestrian dan pesepeda. Kualitas udara yang lebih baik akibat minimnya kendaraan bermotor juga dapat mengurangi risiko warga dari penyakit pernapasan, asma, dan tekanan darah tinggi.
Baca juga : Panggung Olahraga Tersandera Korona
Sementara bagi para operator transportasi umum, sarana transportasi harus dibuat lebih aman. Selama pandemi masih terjadi, higienitas menjadi salah satu yang perlu diperhatikan. Hal ini dapat diupayakan melalui penyediaan hand sanitizer di dalam kendaraan ataupun di tempat transit halte dan stasiun. Penyemprotan cairan disinfektan secara berkala juga perlu terus dilakukan.
Jadwal keberangkatan dan jumlah kendaraan yang beroperasi juga harus mencukupi. Tujuannya agar tetap mengakomodasi mobilitas warga yang tidak dapat mengakses kendaraan pribadi. Dengan begitu, potensi penumpukan penumpang dapat dihindari dan anjuran jaga jarak fisik dapat diterapkan melalui pengurangan kapasitas penumpang di tiap moda transportasi.
Memang, minimnya penumpang dapat mengurangi pendapatan para operator. Meski demikian, hal ini tidak menjadi masalah ketika biaya operasional transportasi dibayar dengan anggaran pemerintah yang dialokasikan setiap tahun. Namun, berbeda bagi operator swasta yang menggerakkan bisnisnya secara soliter, diperlukan dana bantuan dari pemerintah.
Operator transportasi umum jarak jauh, seperti bus AKAP, kereta api, dan pesawat terbang, dapat memanfaatkan layanan kelas tertingginya. Kendaraan hanya berisi sedikit bangku sehingga dapat meminimalkan penularan virus antarpenumpang. Sebagai contoh bus super-eksekutif yang hanya memiliki 21 bangku. Begitu juga gerbong kereta kelas luxury dengan 26 bangkunya.
Gaya baru mobilitas warga akibat kebijakan di banyak negara merupakan hal yang tidak terelakkan. Namun, demi upaya memperlambat meluasnya penyebaran virus, sudah sepatutnya warga mendukung kebijakan ini. Sembari menjaga diri agar tetap, sehat baik secara jiwa maupun fisik. (LITBANG KOMPAS)