Perlukah PPDB DKI Jakarta Diulang?
Masih adanya pengertian yang beragam mengenai zonasi penerimaan siswa baru membuat proses penerimaan peserta didik baru menyisakan polemik.
Polemik seputar penerimaan peserta didik baru DKI Jakarta terus bergulir dari masa awal pendaftaran dibuka hingga kini. Aksi protes dan kritik terus dilontarkan masyarakat yang merasa dirugikan dengan sistem baru ini. Semuanya mengerucut pada permintaan diulangnya proses PPDB dari awal.
Penerimaan peserta didik baru (PPDB) tahun ajaran 2020/2021 di DKI Jakarta masih menjadi isu panas yang menjalar di kalangan orangtua murid dan calon siswa. Permasalahannya cukup pelik, mulai dari penerapan petunjuk teknis oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta hingga sistem pendaftaran daring yang nyatanya sering terkendala.
Protes dan permintaan agar proses seleksi PPDB DKI Jakarta dibatalkan dan diatur ulang kini makin mencuat. Pada 29 Juni 2020, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta meminta Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memerintahkan Kepala Dinas Pendidikan mencabut Surat Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Nomor 501 Tahun 2020 tentang Petunjuk Teknis Penerimaan Peserta Didik Baru 2020/2021.
Permintaan yang senada juga diajukan para orangtua yang melancarkan aksi demonstrasi di bawah naungan Gerakan Emak-Bapak Peduli Keadilan dan Pendidikan (Geprak) di depan Balai Kota DKI.
Dengan didampingi Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), mereka menemui Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Sutanto. Bedanya, mereka meminta Kemendikbud membatalkan atau mengulang semua tahapan PPDB DKI Jakarta.
Bola panas isu ini terus bergulir karena hingga kini, baik Gubernur Anies Baswedan maupun Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim belum angkat bicara. Sejauh ini, pertemuan yang terselenggara untuk membahas PPDB DKI Jakarta baru diadakan antara calon orangtua peserta didik baru dan Komnas PA dengan anggota Komisi X DPR pada 30 Juni 2020.
Dalam pertemuan itu, Komisi X menampung aspirasi para orangtua dan akan menyampaikannya kepada Kemendikbud. Menanggapi tuntutan pembatalan atau proses ulang PPDB DKI Jakarta, Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) justru menyatakan ketidaksetujuan.
Alasannya, jika proses PPDB saat ini dibatalkan, ada sekitar 31.011 calon siswa (SMP) dan 12.684 calon siswa (SMA) yang sudah diterima jalur zonasi (per Sabtu, 27 Juni 2020) akan ditelantarkan. Tentu saja, pilihan untuk membatalkan justru berpotensi mendulang protes dari pihak yang sudah lolos seleksi.
Melalui Wakil Sekretaris Jenderal FSGI Satriwan Salim, pihaknya mengajukan tiga opsi lain untuk permasalahan ini. Opsinya, memperpanjang pendaftaran untuk jalur zonasi, membuka rombongan belajar atau menambah kelas baru, dan meminta Mendikbud melakukan evaluasi serta supervisi terhadap semua petunjuk teknis PPDB di 34 provinsi dan 514 petunjuk teknis PPDB di kabupaten/kota seluruh Indonesia.
Untuk kondisi saat ini, pilihan untuk membatalkan dan mengulang proses PPDB terlihat mustahil dilakukan. Selain merugikan pihak yang sudah dinyatakan lolos, proses pengulangan ini tentu memengaruhi jadwal dimulainya tahun ajaran 2020/2021 dan berbagai persiapan 1.945 sekolah negeri (SD, SMP, dan SMA) di Jakarta. Lagi pula, tanpa adanya perubahan dari segi aturan dan penerapan, PPDB zonasi akan mengulang polemik yang sama dari tahun ke tahun.
Pemicu
Melihat persoalan PPDB DKI Jakarta, ada benang kusut yang harus diurai satu per satu. Polemik dimulai ketika ditemukannya sejumlah kasus calon siswa dengan usia lebih muda tidak lolos seleksi PPDB jalur zonasi. Sementara itu, calon siswa dengan usia lebih tua lebih berpeluang lolos meskipun jarak antara tempat tinggal siswa dan sekolah tujuan tidak terbilang dekat.
Belum lagi, ada isu yang mencuat di ranah publik seputar proses PPDB. Misalnya, titipan calon siswa dari pejabat atau pemangku kepentingan lain. Isu ini mencuat lantaran pada tahun sebelumnya Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya menemukan adanya praktik penerimaan ”siswa titipan” SMA di Depok, Jawa Barat.
Selain itu, kendala ketika melakukan pendaftaran PPDB melalui laman daring menjadi kendala teknis. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menerima banyak pengaduan mengenai lambatnya server PPDB karena banyak pendaftar yang mengakses di waktu yang sama. Lainnya, ada masalah dari pihak orangtua yang keliru mengisi formulir daring karena tidak memahami atau gagap teknologi.
Ada satu persoalan yang kurang disorot ketika melihat polemik ini, yakni perbedaan yang cukup besar antara jumlah SD, SMP, SMA, dan SMK negeri yang ada di Jakarta. Berdasarkan data Kemendikbud, pada semester genap tahun ajaran 2019/2020, selisih antara jumlah SMP dan SD negeri sebesar 1.156 sekolah. Lalu, selisih jumlah SMP dengan SMA dan SMK negeri sebesar 103 sekolah.
Dari data di atas disimpulkan bahwa ada persoalan mendasar dari segi sarana dan prasarana bangunan sekolah. Selisih yang besar itu akhirnya memengaruhi tersedianya kuota penerimaan, baik di tingkat SMP, SMA, maupun SMK. Daya tampung yang menjadi persoalan ini justru perlu diperhatikan oleh Pemprov DKI Jakarta dan pemerintah pusat agar penerapan sistem zonasi tidak jatuh di lubang yang sama setiap tahun.
Aturan
Merujuk pada SK Kepala Dinas Pendidikan Nomor 501 Tahun 2020 tentang Petunjuk Teknis PPDB TA 2020/2021, kriteria pertama seleksi dalam jalur zonasi adalah tempat tinggal atau domisili calon peserta didik harus berada dalam zona yang telah ditetapkan. Jika jumlah pendaftar PPDB jalur zonasi melebihi daya tampung, dilakukan seleksi berdasarkan usia, urutan pilihan sekolah, dan waktu mendaftar.
Hal ini seturut dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 44 Tahun 2019 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru pada Taman Kanak-kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, dan Sekolah Menengah Kejuruan yang mengatur calon peserta didik dapat mendaftar melalui jalur prestasi di luar zonasi domisilinya sepanjang memenuhi persyaratan.
Penentuannya berdasarkan nilai ujian sekolah atau ujian nasional. Apabila kuota jalur prestasi tidak mencukupi, seleksi dilakukan dengan pemeringkatan nilai prestasi oleh sekolah.
Sementara itu, penetapan zonasi di Jakarta dilakukan PPDB SMA berbasis wilayah kelurahan. Artinya, proses seleksi berdasarkan usia, bukan jarak tempat tinggal terdekat ke sekolah seperti yang tertuang dalam Pasal 25 Permendikbud No 44/2019.
Ketentuan usia tersebut juga berlaku dalam proses seleksi pada jalur afirmasi bagi anak pemegang Kartu Jakarta Pintar, anak pemegang Kartu Pekerja Jakarta, anak pengemudi Jak Lingko, serta anak terdaftar dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial.
Menurut Kepala Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta Nahdiana, latar belakang kebijakan baru ini karena fakta di lapangan menunjukkan masyarakat miskin justru tersingkir di jalur zonasi lantaran tidak dapat bersaing secara nilai akademik dengan masyarakat yang mampu.
Oleh karena itu, kebijakan baru diterapkan, yaitu usia sebagai kriteria seleksi setelah siswa tersebut harus berdomisili dalam zonasi yang ditetapkan, bukan lagi prestasi. Untuk siswa yang mau bersaing secara nilai akademik, PPDB menyediakan jalur akademik atau afirmasi.
Tujuan Pemprov DKI Jakarta ialah memberikan peluang sebesar-besarnya bagi anak-anak di kuadran 4. Maksudnya, anak yang kemampuan akademis kurang dan berasal dari keluarga tidak mampu, untuk masuk sekolah negeri. Pada umumnya, anak di kuadran 4 ini memiliki usia yang lebih tua karena terhambat untuk sekolah.
Selain itu, DKI Jakarta juga menerapkan proporsi yang berbeda dari petunjuk teknis PPDB 2020/2021. Proporsi penerimaan yang dimaksud ialah jalur zonasi (50 persen), jalur afirmasi (15 persen), jalur prestasi (30 persen), dan jalur perpindahan orangtua atau guru (5 persen).
Di Jakarta, proporsi yang berlaku untuk SMP dan SMA adalah jalur zonasi (40 persen), jalur afirmasi (25 persen), jalur prestasi (30 persen), dan jalur perpindahan orangtua atau guru (5 persen).
Penetapan zonasi di Jakarta dilakukan PPDB SMA berbasis wilayah kelurahan. Artinya, proses seleksi berdasarkan usia, bukan jarak tempat tinggal terdekat ke sekolah.
Dalam hal ini, Pemprov DKI Jakarta masih memiliki kewenangan atau tidak melanggar peraturan. Penetapan wilayah zonasi, sesuai yang ditetapkan dalam Peraturan Mendikbud Nomor 44 Tahun 2020 tentang PPDB 2020, dilakukan pemerintah daerah dengan prinsip mendekatkan domisili peserta didik dengan sekolah.
Padahal, pada penerapan sistem zonasi di tahun-tahun sebelumnya, capaian akademik tidak pernah menjadi ukuran dalam jalur zonasi. Siswa tidak mampu atau anak di kuadran 4 telah diakomodasi melalui jalur afirmasi. Terkait usia, dalam proses seleksi pun mendapat prioritas kedua setelah kriteria jarak.
Benang kusut sistem PPDB 2020/2021 ini berakar pada pemahaman berbeda yang ada di pihak Kemendikbud, Pemprov DKI Jakarta, dan tentu saja orangtua beserta calon peserta didik. Jika dilihat lagi, protes yang dilancarkan para orangtua berkutat seputar jarak sekolah, capaian nilai akademik, dan usia. Masih ada pengertian yang beragam mengenai zonasi.
Tentu, seleksi PPDB DKI Jakarta jalur zonasi tahun ini tidak perlu diulang. Hal yang perlu terus dilakukan berulang-ulang dan jauh-jauh hari adalah sosialisasi ketentuan zonasi ini untuk menjembatani jurang pemahaman. Tanpa pemahaman yang sama mengenai zonasi, energi pembangunan pendidikan bangsa akan selalu berkutat pada masalah mendasar pendidikan, yaitu akses sekolah. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Mimpi Pemerataan Pendidikan dari Jalur Zonasi PPDB 2020