Kubu Prabowo-Sandi Ajukan Gugatan ke MK pada Jumat
Kubu pasangan calon presiden-wakil presiden Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno memastikan akan mengajukan permohonan sengketa hasil Pemilu 2019 ke Mahkamah Konstitusi pada Jumat (24/5/2019) siang.
Oleh
Satrio Pangarso Wisanggeni
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kubu pasangan calon presiden-wakil presiden Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno memastikan akan mengajukan permohonan sengketa hasil Pemilihan Umum 2019 ke Mahkamah Konstitusi pada Jumat (24/5/2019) siang. Perlu upaya keras untuk mengumpulkan bukti yang kuat sebagai dasar tudingan kecurangan yang dilakukan aparat atau penyelenggara pemilu.
Calon wakil presiden nomor urut 02, Sandiaga Uno, mengatakan, pihaknya akan mengajukan permohonan sengketa hasil pemilihan presiden ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Jumat siang. Pada saat itu, tim hukum yang mewakili Prabowo-Sandi akan diumumkan.
”Ini adalah bentuk langkah-langkah Prabowo-Sandi untuk tetap berada di jalur konstitusional,” kata Sandi saat ditemui seusai rapat BPN Prabowo-Sandi di kediaman pribadi Prabowo, Kertanegara, Jakarta.
Berdasarkan pantauan, beberapa orang yang hadir dalam rapat tersebut, selain Prabowo dan Sandi, adalah Koordinator Juru Bicara BPN Prabowo-Sandi Dahnil Anzar Simanjuntak, Direktur Media dan Komunikasi BPN Prabowo-Sandi Hashim Djojohadikusumo, dan pengacara Otto Hasibuan.
Sejak Prabowo memutuskan untuk mengajukan permohonan sengketa hasil pilpres ke MK pada Selasa (21/5/2019) siang, tim kuasa hukum belum diumumkan ke publik. Otto menjadi nama terakhir yang disebut juga akan mengawaki tim tersebut selain mantan pemimpin KPK Bambang Widjojanto, Denny Indrayana, Rikrik Rizkiansyah, dan Irmanputra Sidin.
Sementara itu, Hashim didapuk menjadi penanggung jawab pengajuan permohonan sengketa hasil pilpres ke MK.
Sandi mengatakan, hingga Kamis malam nanti, BPN Prabowo-Sandi sedang mempersiapkan materi permohonan sengketa yang akan dibawa ke MK. ”Malam ini akan kami kebut sampai besok siang dan akan kami laporkan ke masyarakat,” ujarnya.
Berdasarkan hasil perolehan suara yang ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum pada Selasa, 21 Mei 2019, pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin unggul dengan perolehan 55,5 persen suara dibandingkan dengan Prabowo-Sandi yang mendapat 44,5 persen suara nasional. Pasangan nomor urut 01 tersebut unggul dengan selisih sekitar 16,8 juta suara.
Dahnil mengatakan, bukti yang akan disampaikan dalam sidang MK akan mencakup ”temuan” yang sudah pernah disampaikan oleh BPN Prabowo-Sandi sebelumnya ke publik. Temuan-temuan itu antara lain daftar pemilih tetap (DPT) yang bermasalah.
”Argumen sedang disusun (oleh tim hukum) dan didukung oleh data dari BPN Prabowo-Sandi,” ucap Dahnil.
Selisih 16,8 juta suara ini bahkan lebih besar dibandingkan dengan Pemilu 2014 ketika selisih antara Joko Widodo-Jusuf Kalla unggul dibandingkan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Pada saat itu selisihnya sekitar 6 juta suara. Saat itu, permohonan Koalisi Merah Putih Prabowo-Hatta pun ditolak majelis hakim MK.
”Jadi, yang ingin kami sampaikan, secara kualitatif, sekecil apa pun pelanggaran, itu mengganggu kualitas demokrasi,” kata Dahnil.
Bukti yang kuat
Menurut Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas Feri Amsari, bukti yang kuat dalam sengketa hasil pemilu adalah berkas formulir C1 atau hasil penghitungan suara tingkat TPS. BPN perlu membuktikan dan mengidentifikasi secara spesifik suara yang dianggap hasil kecurangan.
Kemudian, apabila ingin mempermasalahkan kecurangan yang disebut terstruktur, sistematis, dan masif, maka pihak pemohon juga harus membuktikan, pertama, kecurangan dilakukan aparat negara atau penyelenggara pemilu secara berjenjang, dari pusat hingga struktur terendah.
Kedua, harus dibuktikan bahwa kecurangan tersebut direncanakan sangat matang agar bisa disebut sistematis. Dan, ketiga, sebaran kecurangan terjadi di lebih dari 50 persen wilayah Indonesia sehingga disebut masif.
”Semua harus berbasis pada C1 kalau mempermasalahkan selisih suara,” ucap Feri.
Untuk itu, guna mendapatkan bukti yang kuat, BPN Prabowo-Sandi harus dapat mengidentifikasi kecurangan suara di lebih dari 50 persen provinsi di Indonesia yang menjadi selisih kemenangan pasangan Jokowi-Amin, yakni 17 juta suara.
Selain itu, menurut Feri, tuduhan penggunaan kebijakan yang dilakukan Presiden Jokowi sebagai kecurangan pun tidak bisa dibuktikan. ”Tidak bisa itu, setiap presiden memang punya wewenang,” ujarnya.