Morfologi kubah lava Gunung Merapi diduga berubah pascaletusan pada Senin (14/10/2019). Tim Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi akan melakukan observasi terkait hal itu.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·4 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Morfologi kubah lava Gunung Merapi diduga berubah pascaletusan pada Senin (14/10/2019). Tim Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi akan melakukan observasi terkait hal itu.
”Kalau diperkirakan, pasti ada (perubahan morfologi) karena letusannya cukup kuat. Diperkirakan perubahan morfologi itu terjadi di sekitar puncak, terutama di kubah lava. Mudah-mudahan dalam waktu dekat kami akan mengobservasinya,” kata Kepala Seksi Gunung Merapi Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) Agus Budi Santoso, di Yogyakarta, Selasa.
Menurut data BPPTKG, awan panas letusan Merapi itu berdurasi 270 detik dan amplitudo 75 milimeter. Tinggi kolom letusan awan panas mencapai 3.000 meter. Ini lebih tinggi daripada letusan pada 22 September 2019 yang menghasilkan kolom setinggi 800 meter.
Letusan awan panas terakhir mengakibatkan hujan abu di sejumlah wilayah lereng. Menurut laporan, hujan abu terjadi di 17 desa yang tersebar di enam kecamatan di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Keenam kecamatan itu adalah Srumbung, Dukun, Salam, Sawangan, Mungkid, dan Muntilan. Selain di wilayah Jateng, Merapi juga masuk dalam wilayah DI Yogyakarta di Kabupaten Sleman.
Agus mengungkapkan, observasi bakal dilakukan menggunakan drone. Kondisi kawah pascaletusan awan panas terakhir belum dapat terpantau. Kamera pemantau yang dipasang untuk mengamati kondisi kawah itu rusak karena terkena lontaran material dari letusan tersebut.
Setelah letusan awan panas tersebut, terjadi dua kali awan panas guguran. Guguran pertama terjadi Senin pukul 20.19, dengan amplitudo maksimal 30 milimeter dan durasi 76 detik. Guguran kedua terjadi pada Selasa pukul 00.04, dengan amplitudo maksimal 53 milimeter dan durasi 102 detik. Kedua awan panas guguran itu tidak terpantau secara visual karena tertutup kabut.
”Itu masih sisa-sisa aktivitas sebelumnya karena aktivitas letusan yang terjadi (Senin) sore itu adalah akumulasi gas. Diduga masih ada sisa-sisa akumulasi gas yang mendorong material kubah lava untuk menjadi awan panas kecil,” ujar Agus.
Agus menerangkan, secara umum, aktivitas Merapi justru cenderung menurun pada Oktober ini. Rata-rata jumlah guguran hanya sekitar 5 kali per hari. Padahal, sebelum September, guguran terjadi puluhan kali per hari.
Selain itu, Gunung Merapi juga masih belum mengalami perubahan status, yakni Waspada (Level II). Belum ada perubahan mengenai ancaman bahaya bagi warga. Saat ini, volume kubah lava sebesar 468.000 meter kubik. Jika kubah lava itu runtuh dan isinya menjadi awan panas, jarak luncurannya tidak mencapai 3 kilometer. Hal itu masih sesuai rekomendasi agar warga tidak beraktivitas dalam radius 3 kilometer dari puncak Merapi.
Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DIY Biwara Yuswantana menyampaikan, barak-barak pengungsian yang terdapat di kawasan lereng Merapi sudah siap digunakan jika sewaktu-waktu warga perlu dievakuasi. Sedikitnya ada 11 barak pengungsian yang tersedia di wilayah tersebut.
Dengan tidak adanya perubahan rekomendasi, masyarakat juga diminta untuk tetap tenang dan waspada. Segala informasi mengenai perkembangan kondisi Gunung Merapi harus dipantau dari lembaga yang berkompeten, seperti BPPTKG. Di sisi lain, jaringan komunikasi antara masyarakat, relawan, BPPTKG, dan BPBD juga sudah terbentuk dengan baik.
Semua desa yang ada di lereng Merapi, khususnya di wilayah DIY, juga sudah menjadi desa tangguh bencana.
”Semua desa yang ada di lereng Merapi, khususnya di wilayah DIY, juga sudah menjadi desa tangguh bencana (destana). Mereka sudah tahu apa yang harus dilakukan jika terjadi bencana. Beberapa desa memasukkan biaya kebencanaan dalam APBDes-nya. Perangkat desa berkomitmen terhadap tanggap bencana,” tutur Biwara.
Ia menambahkan, masker juga sudah tersedia untuk mengantisipasi hujan abu. BPBD DIY mempunyai stok hingga 50.000 masker. Stok masker juga tersedia di setiap puskesmas di wilayah lereng Merapi.
Dihubungi terpisah, Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Sleman Sudarningsih mengungkapkan, ada beberapa destinasi wisata di daerah tersebut yang berada di kawasan lereng Merapi. Salah satu yang paling diminati adalah Jip Lava Tour. ”Sekarang masih aman. Kami merekomendasikan untuk berpedoman dengan informasi dari BPPTKG dan BPBD,” ujarnya.
Sudarningsih menyampaikan, semua pengemudi jip juga sudah punya wawasan tanggap bencana. Mereka tahu bagaimana harus bertindak jika sewaktu-waktu terjadi erupsi yang berisiko bagi keselamatan wisatawan.
Ada pula inovasi berupa aplikasi Lapor Bencana Sleman. Salah satu fiturnya bernama ”Jarak Aku Merapi”. Fitur itu berfungsi untuk mengukur jarak antara pemilik ponsel dan puncak Merapi. Setiap pengemudi jip wajib memasang aplikasi tersebut di ponselnya. Apabila terjadi peningkatan status dari gunung itu, ponsel akan bergetar sebagai tanda peringatan untuk segera melakukan evakuasi.
Sudarningsih menyampaikan, hambatan dari penggunaan aplikasi tersebut adalah keterbatasan sinyal seluler. Namun, pihaknya sudah berkoordinasi dengan Dinas Komunikasi dan Informatika Kabupaten Sleman untuk menguatkan sinyal di kawasan itu. ”Supaya tidak ada halangan penanganan wisatawan yang ada di lereng Merapi,” katanya.