Regulasi Sulitkan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
Regulasi baru tentang e-dagang dinilai menyulitkan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah. Tanpa kehati-hatian, kebijakan itu bisa mematikan industri yang tumbuh pesat beberapa tahun ini.
Oleh
MEDIANA / M PASCHALIA JUDITH
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan melalui Sistem Elektronik dimaksudkan untuk menciptakan kesetaraan antara pelaku usaha perdagangan daring dan luring. Namun, sejumlah ketentuan dalam peraturan yang berlaku sejak diundangkan pada 25 November 2019 itu justru dianggap menyulitkan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah atau UMKM serta berpotensi menghambat perkembangan perdagangan secara elektronik atau e-dagang yang tengah tumbuh.
Pelaku usaha yang dimaksud dalam regulasi itu mencakup setiap orang perserorangan atau badan usaha, berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum, serta dalam dan luar negeri.
Pasal 11 Peraturan Pemerintah (PP) 80/2019, misalnya, mewajibkan setiap pelaku usaha perdagangan secara elektronik untuk memenuhi persyaratan izin usaha, izin teknis, tanda daftar perusahaan, nomor pokok wajib pajak, kode etik bisnis, serta standardisasi produk.
Pada pasal lain, pelaku usaha e-dagang diwajibkan untuk mengutamakan penggunaan nama domain tingkat tinggi Indonesia (.id). Pelaku usaha juga diwajibkan membantu program pemerintah mengutamakan perdagangan barang dan jasa produksi dalam negeri.
Menurut Ketua Umum Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) Ignatius Untung di Jakarta, Senin (9/12/2019), pihaknya mengakomodasi kekhawatiran pelaku e-dagang, terutama pedagang berskala mikro, kecil, dan menengah, terkait regulasi itu. Mereka khawatir ketentuan wajib mendaftar dan mengantongi izin usaha tak diikuti kemudahan pengurusan izin.
Pelaku usaha juga khawatir dikejar petugas untuk setor pajak, sementara bisnis belum mencetak untung. Ketentuan soal pemakaian domain juga dianggap menambah ongkos baru bagi pelaku usaha.
Tak sejalan
Peneliti Center of Innovation and Digital Economy Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Nailul Huda, berpendapat, pemerintah kini gencar membuat ekosistem memulai usaha yang lebih kondusif. Namun, ketentuan PP 80/2019 berpotensi menambah beban pengusaha yang memulai usahanya di platform digital. Padahal, sektor ini tumbuh pesat beberapa tahun terakhir.
Nilai kotor penjualan barang melalui platform e-dagang di Indonesia, menurut riset Google dan Temasek dalam ”e-Conomy SEA 2019”, mencapai 20,9 miliar dollar AS pada tahun 2019. Angka itu tumbuh pesat dibandingkan tahun 2015 yang 1,7 miliar dollar AS. Pada tahun 2025, nilainya diproyeksikan mencapai 82 miliar dollar AS.
Tanggapan sejumlah pelaku usaha senada soal regulasi itu. Vice President Corporate Communication Tokopedia Nuraini Razak mengatakan, pihaknya berharap pemerintah mempertimbangkan pelaksanaan PP 80/2019. Sebab, ada substansi yang tidak sejalan dengan visi pemerintah mendorong kemudahan berbisnis dan pertumbuhan UMKM baru.
Menurut Head Of Corporate Communication Bukalapak Intan Wibisono, ketentuan izin usaha perlu dipertimbangkan lagi. ”Mengharuskan pelaku usaha kecil memiliki izin usaha akan jadi tantangan tersendiri,” ujarnya.
Sebelumnya, Sekretaris Jenderal Kementerian Perdagangan Oke Nurwan menyatakan, PP 80/2019 bertujuan membuat perdagangan berbasis sistem elektronik makin teratur. ”Regulasi ini akan memastikan kesetaraan antara (pelaku usaha perdagangan) offline maupun online,” ujarnya.
Salah satu bentuk kesetaraan itu adalah soal pengutamaan produk dalam negeri. Peritel fisik di pusat perbelanjaan dan toko modern, misalnya, wajib menyediakan barang produksi dalam negeri minimal 80 persen dari jumlah dan jenis barang dagangan.
Secara terpisah, Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Teten Masduki menyatakan, perlu ada masa transisi penerapan PP 80/2019. Hal ini dibutuhkan agar pelaku UMKM dapat mengurus segala persyaratan. ”PP ini, kan, sudah keluar, konsekuensinya, perlu masa transisi supaya UMKM tak terpukul dan ekonomi masyarakat terganggu,” ujarnya.
Sinkronkan
Dalam rapat terbatas di Kantor Presiden, Jakarta, kemarin, Presiden Joko Widodo mengintruksikan para pembantunya mengutamakan UMKM, yang jumlahnya lebih dari 64 juta unit, dalam perekonomian nasional. Program pemberdayaan UMKM dinilai masih belum padu dan berserakan di 18 kementerian dan lembaga negara.
Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UKM, total UMKM di Indonesia saat ini berjumlah 64,194 juta unit usaha, meliputi 63,35 juta unit usaha mikro, 783.132 unit usaha kecil, dan 60.702 usaha menengah.
Pemerintah menargetkan sejumlah peningkatan dalam lima tahun ke depan. Sumbangan ekspor UMKM terhadap ekspor nasional, misalnya, ditargetkan naik dari 14,37 persen di 2018 menjadi 30,2 persen di 2024. Sementara kontribusi UMKM terhadap produk domestik bruto ditargetkan naik dari 60,34 persen tahun 2018 menjadi 60,5 persen di 2024 dan rasio kewirausahan nasional ditargetkan naik dari 3,4 persen tahun 2018 menjadi 4 persen di tahun 2024. (MED/JUD/CAS/LAS)