Rencana pemerintah melonggarkan pembatasan sosial berskala besar berisiko memicu ledakan wabah penyakit Covid-19. Kebijakan itu mesti dilakukan berdasarkan data dan kajian ilmiah sesuai standar.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS—Rencana pemerintah melonggarkan pembatasan sosial berskala besar dengan membuka kembali moda transportasi dan tempat kerja dinilai berisiko memicu ledakan wabah. Kebijakan yang dibuat seharusnya didasarkan pada data dan kajian yang teruji secara ilmiah.
"Saya kira belum waktunya menjalankan kembali ekonomi seperti semula, kecuali ada data valid yang menunjukkan kasus aktif sudah sangat sedikit. Untuk Jakarta maksimal hanya ada 10 kasus aktif," kata epidemiolog Universitas Padjajaran, Bandung Panji Hadisoemarto, dalam webinar yang diadakan Laporcovid19.org, Senin (11/5/2020), di Jakarta.
Menurut Panji, untuk bisa mengukur adanya kasus aktif harian diperlukan tes Covid-19 yang masif dan sistem pelaporan yang baik. Masalahnya, tes di Indonesia masih sangat kurang dan proses pelaporannya sangat terlambat.
Belum waktunya menjalankan kembali ekonomi seperti semula, kecuali ada data valid yang menunjukkan kasus aktif sudah sangat sedikit. Untuk Jakarta maksimal hanya ada 10 kasus aktif.
Penelusuran Panji di Kota Bandung, Jawa Barat menunjukkan adanya jarak waktu cukup lama sejak terjadi infeksi, diperiksa hingga dilaporkan hasilnya. Rata-rata sejak orang sakit hingga diperiksa dan diambil sampelnya butuh waktu 3-5 hari.
"Sejak sampel diterima di laboratorium masih harus antre untuk diperiksa karena ada penumpukan, ini bisa terlambat sampai 7 hari. Setelah selesai juga tidak segera dilaporkan. Ada penundaan 1-3 hari. Waktu rata-rata sejak sampel diambil sampai keluar laporan bisa 7-10 hari," tuturnya.
Menurut Panji, kasus harian yang diumumkan pemerintah bisa terlambat sampai dua minggu dari kasus aktif terjadi. "Idealnya seperti di Korea Selatan, hasil pemeriksaan bisa keluar dalam waktu 24 jam. Kalau tidak bisa maksimal 48 jam," katanya.
Dengan kondisi saat ini, kurva yang kita lihat dari hasil pelaporan tidak bersifat waktu nyata, tapi pantulan dari masa lalu. Kondisi ini menyebabkan kita bisa keliru membaca data yang ada.
Sebagai contoh, data kasus harian di Kota Bandung ada tiga puncak. Tiga gelombang ini akibat adanya bottle neck di pemeriksaan, atau bisa juga disebabkan dengan tidak konsistennya penelusuran kontak.
"Dampaknya, jika dilihat grafisnya seperti ada penurunan, tetapi kalau melihat trennya, bisa jadi akan naik lagi. Sehingga kebijakan berdasarkan laporan yang terlambat beberapa waktu itu bisa keliru dan berisiko," ungkapnya.
Belum sesuai standar
Ahli biostatistik dan epidemiolog Eijkman Oxford Clinical Research Unit, Iqbal Elyazar, juga mengatakan, kurva yang disampaikan pemerintah setiap harinya kepada publik bukanlah kurva epidemi yang sesuai standar ilmu kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, harus ada pembenahan agar bisa membuat kebijakan yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Ia menjelaskan, kurva epidemi yang sesuai standar terdiri sumbu Y (vertikal) yang menunjukkan jumlah kasus baru, dan sumbu X (horisontal) yang mengindikasikan patokan waktu analisis yang terkait dengan jumlah kasus baru. Seperti patokan tanggal orang terinfeksi, tanggal mulai bergejala, dan tanggal diperiksa.
Sementara pada kurva yang dimiliki pemerintah, sumbu X menunjukkan angka pertambahan kasus Covid-19 yang terlapor setiap harinya. "Seharusnya bukan angka yang terlapor, karena bisa saja angkanya lebih besar namun test kit tidak mencukupi, atau angka yang dilaporkan hari itu berdasarkan kapasitas laboratorium. Apalagi, hasil laporan harian kita juga terlambat," ujarnya.
Data di endcoronavirus.org, inisiatif global untuk memetakan tren kasus Covid-19 di sejumlah negara menunjukkan, Indonesia masih membutuhkan intervensi serius untuk menurunkan kurva penularan. Sejumlah negara yang dianggap sukses menurunkan kurva di antaranya Vietnam, Taiwan, Thailand, China, dan Korea Selatan.
Adapun negara yang hampir berhasil menurunkan kurvanya di antaranya Malaysia, Jepang, dan Italia. Sementara Indonesia masih berada di kurva yang menanjak bersama dengan India, Brasil, dan Amerika Serikat.
Di platform yang diinisiasi Yaneer Bar-yam, ahli kesehatan dari New England Complex System Institute ini, disebutkan, untuk melandaikan kurva Covid-19 ini, ada empat intervensi utama yang harus dilakukan. Di antaranya, serius menerapkan lockdown atau karantina wilayah, pembatasan perjalanan, tes masif, dan penggunaan masker.
Pendataan
Irma Hidayana dari Laporcovid19.org mengatakan, pemerintah sebaiknya mengumumkan juga orang dalam pemantauan dan pasien dalam pengawasan yang meninggal, sekalipun belum ada hasil tes.
"WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) per 11 April telah memperbarui tata cara pencatatan kematian terkait Covid-19. Semua kematian diduga memiliki gejala Covid-19 harus dicatat sebagai kematian karena virus tersebut, sampai dapat dibuktikan kematian bukan karena Covid-19." ungkapnya.
Pengumuman daa ODP dan PDP yang meninggal ini akan lebih memberikan gambaran sesungguhnya dampak bencana ini, sehingga masyarakat lebih disiplin menerapkan PSBB. "Laporan yang masuk, saat ini masih banyak keramaian di berbagai daerah. Ini salah satunya disebabkan kebijakan pemerintah yang belum padu soal PSBB," kata Irma.
Dari tujuh provinsi yang dikumpulkan datanya, berdasarkan laporan pemerintah kabupaen atau kota, jumlah PDP dan ODP yang meninggal mencapai 3.046 orang. Sementara data resmi pemerintah yang hanya berbasis korban positif meninggal hanya 854 orang. Tujuh provinsi itu meliputi DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta, dan Sulawesi Selatan.