Pandemi membuat perusahaan berpusar dalam paradoks. Di satu sisi, ekonomi perlu dibangkitkan, di sisi lain kesehatan masyarakat perlu diutamakan, khususnya bagi para pekerja yang membutuhkan mata pencarian.
Oleh
ERIKA KURNIA
·5 menit baca
Hampir dua bulan Annet Herawaty (24), pramuniaga di salah satu pusat perbelanjaan, dirumahkan. Penutupan pusat perbelanjaan membuat gerai aksesori tempatnya bekerja tidak bisa beroperasi. Kebijakan pembatasan sosial berskala besar di Jakarta telah menjauhkan dirinya dengan sumber mata pencarian.
Ia rindu kembali bekerja. Pekerjaannya selama ini membuatnya bergaji Rp 5 juta per bulan, yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun, saat ini ia megap-megap hanya untuk melunasi kewajiban membayar utang. Mencari pekerjaan baru pun sulit di masa kritis seperti ini.
”Selama di rumah, saya mencoba berjualan daring untuk tambah biaya cicilan. Praktis tidak ke mana-mana. Kalau gerai buka, tentunya saya siap bekerja karena sumber pemasukan utama dari pekerjaan itu,” tuturnya saat dihubungi Kompas, di Jakarta, Rabu (13/5/2020).
Baru-baru ini, ia mendengar wacana pemerintah yang ingin melonggarkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) untuk memulihkan perekonomian. Wacana itu pun membuahkan harapan untuk melepas rindu dengan pekerjaannya.
Meski demikian, ada perasaan waswas yang membayangi. Selain karena simpang siurnya informasi tentang data terkini dan prediksi perkembangan kasus Covid-19 di Indonesia, pelonggaran aktivitas di pusat perbelanjaan juga dikhawatirkan membuat kondisi semakin buruk.
”Kalau kerja di pusat perbelanjaan pastinya harus jalani protokol kesehatan, pakai masker, cuci tangan atau memakai antiseptik, dan jaga jarak. Pusat perbelanjaan pasti ramai dan sangat rentan penyebaran,” ujarnya.
Kekhawatiran yang sama dirasakan pekerja media, Latif Putra. Sama dengan Annet, sudah dua bulan terakhir ini ia bekerja dari rumah mengikuti aturan perusahaan dan pemerintah. Jika pemerintah jadi mengesahkan wacana pelonggaran PSBB dan perusahaannya mengikuti aturan itu, ia membayangkan beberapa kemungkinan negatif.
”Mungkin orang-orang akan merasa canggung saat mulai kerja di lapangan kembali, seperti bagaimana berjabat tangan dan mendekat pada keramaian. Yang paling dikhawatirkan itu (penyebaran) virusnya enggak selesai-selesai,” tuturnya, yang dihubungi terpisah.
Pertentangan
Rencana relaksasi PSBB masih dikaji Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dengan berbagai kementerian dan lembaga. Menurut informasi yang sempat bocor ke publik, rencana itu terdiri atas lima fase mulai 1 Juni 2020.
Fase yang direncanakan, antara lain, pembukaan kembali operasional industri dan jasa bisnis ke bisnis (B2B). Lalu, pembukaan toko, pasar, dan mal. Skenario itu tetap diikuti pembatasan sosial dan evaluasi, sebelum aktivitas bisnis bisa dilakukan normal.
Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo, melalui telekonferensi, Senin (11/5/2020), juga seolah memberikan sinyal akan penerapan relaksasi PSBB ini. Ia menyatakan, apabila PSBB telah dilonggarkan, pemerintah mengimbau agar warga berusia 45 tahun ke bawah yang beraktivitas lebih banyak.
”Kelompok ini kita beri ruang untuk beraktivitas lebih banyak lagi sehingga potensi terpapar PHK (pemutusan hubungan kerja) bisa kita kurangi lagi,” katanya.
Arahan itu didasarkan pada klaim bahwa warga usia 45 tahun ke bawah tidak termasuk kelompok rentan. Pasalnya, tingkat keparahan penyakit kelompok tersebut rendah, termasuk tingkat kematiannya yang hanya 15 persen.
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menolak kebijakan pemerintah yang mengizinkan masyarakat berusia 45 tahun ke bawah untuk kembali bekerja. Hal ini mengacu pada protokol keamanan untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19.
Presiden KSPI Said Iqbal meminta pemerintah memperketat protokol tersebut karena saat ini pun banyak kelonggaran, bahkan di area PSBB. Saat ini, menurut dia, banyak perusahaan yang diizinkan beroperasi sehingga buruh tetap bekerja di tengah pandemi.
”Mayoritas industri di manufaktur baru akan meliburkan buruh pada H-3 Lebaran sampai dengan H+3,” kata Said Iqbal dalam keterangan tertulis.
SPI mencatat, sudah ada buruh yang meninggal karena diduga Covid-19. Misalnya, 2 orang di PT PEMI Tangerang (berstatus pasien dalam pengawasan), 1 orang di PT Denso, dan 8 orang lainnya diberitakan positif, 1 orang di PT Yamaha Music, dan 2 buruh PT Sampoerna dikabarkan meninggal, juga puluhan orang lainnya positif.
Selain memperketat protokol, pemerintah juga diminta memenuhi kebutuhan pokok para pekerja yang terdampak pandemi. Bantuan perlu lebih banyak diberikan dalam bentuk tunai, sebagai bentuk subsidi upah.
Kepemimpinan
Psikolog Rumah Perubahan, Nur Anugerah, berpendapat, dalam situasi seperti ini, penting bagi pemberi kerja atau atasan untuk memiliki kepemimpinan yang baik. Mereka diharapkan bisa mengomunikasikan secara positif potensi konflik antara kepentingan kesehatan dan ekonomi.
Mengutip pendapat pelatih manajemen Amerika Serikat, David Olson Ulrich, Nur mengatakan, saat ini banyak perusahaan berada di dalam paradoks. Di satu sisi, perusahaan perlu membangkitkan ekonomi, di sisi lain harus tetap menjaga kesehatan masyarakat, khususnya pekerjanya.
”Solusinya, harus ada percakapan positif yang dibangun antara pemberi kerja atau atasan dan pekerja. Seperti apa caranya? Atasan bisa meminta pendapat karyawan agar mereka bisa membuat keputusan yang lebih baik. Jadi, ada dialog dua arah antara atasan dan karyawan,” ucapnya.
Lebih jauh lagi, Nur mengatakan, pimpinan atau atasan perlu memastikan kesehatan fisik dan mental pekerjanya. Ini penting, mengingat ketidakpastian dan perubahan situasi kerja bisa mengubah kondisi fisik dan mental, yang kemudian berdampak pada produktivitas.
”Atasan atau pemberi kerja berperan mengidentifikasi apa yang berbeda pada karyawan. Misal, sebelum dan setelah pandemi Covid-19, bagaimana performance kerjanya, apa kerja di rumah membuat pekerjaan sulit terpenuhi, dan sebagainya,” tuturnya.
Langkah-langkah tersebut diharapkan membantu pemberi kerja menemukan solusi terbaik bagi karyawan yang dipekerjakan. Dengan demikian, rasa waswas yang dirasakan pekerja, seperti pada Annet dan Latif, setidaknya tidak bertambah buruk.