Mengikuti Tabuhan ”Irama” Pandemi
Setiap negara harus bersikap fleksibel dalam menjalani hari-hari bersama pandemi Covid-19. Ketika kasusnya terkendali, pembatasan bisa dilonggarkan. Namun, jika laju infeksi melonjak, pembatasan bisa diberlakukan lagi.
Kehidupan di dunia tak lagi sama ketika Covid-19 menyebar luas ke banyak negara. Perilaku kita sehari-hari dalam segala aspek pun mau tidak mau harus menyesuaikan dengan sifat penyakit itu untuk mencegah bertambahnya kasus positif sambil menunggu vaksin atau terapi definitif yang akan mengubah arah perang melawan pandemi ini.
Setelah beberapa bulan menerapkan kebijakan penutupan wilayah, karantina wilayah, atau pembatasan sosial untuk menekan laju penularan Covid-19, negara-negara di dunia kini mulai melonggarkan kebijakan tersebut, yang mayoritas bermotif ekonomi.
Kebijakan karantina wilayah telah mengganggu aktivitas dan kondisi ekonomi mulai dari skala rumah tangga, bisnis, hingga negara. Maka, melonggarkan kebijakan pembatasan wilayah, termasuk membuka kembali aktivitas ekonomi, rasanya tak bisa dihindari. Namun, melonggarkan pembatasan sosial ketika jumlah kasus Covid-19 baru setiap hari masih tinggi, misalnya ratusan kasus, tentu memiliki risiko yang tidak kecil.
Negara-negara yang melonggarkan pembatasan sosialnya menjadikan data epidemiologi Covid-19 sebagai dasar kebijakan pelonggaran. Meminjam istilah mantan Direktur Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (CDC) Amerika Serikat Tom Frieden, ”It’s not about the date, but the data.” ”Ini bukan soal kapan kita bisa membuka kembali (aktivitas ekonomi), tetapi apa yang perlu kita lakukan agar hari itu tiba lebih cepat,” kata Frieden, yang juga CEO Resolve to Save Lives, di laman organisasi tersebut, 1 April 2020.
Ketika penambahan kasus Covid-19 secara konsisten menunjukkan tren menurun dan kurva epidemiologi melandai, artinya penyebaran Covid-19 sudah relatif terkendali. Maka, pelonggaran pun sudah bisa dilakukan.
Baca juga : Laju Infeksi Melandai, Karantina Mulai Longgar
Ambil contoh Korea Selatan. Duta Besar Korea Selatan untuk Indonesia Kim Chang-beom pernah menyebutkan bahwa para pakar kesehatan di negaranya menetapkan batasan jumlah kasus harian maksimal 50 kasus yang berlangsung secara konsisten sebagai ukuran pelonggaran sudah bisa dilakukan.
Itu sebabnya, Korea Selatan mulai merelaksasi beberapa ketentuan dalam kebijakan pembatasan sosialnya ketika kasus baru per hari mencapai titik terendahnya pada 20 April 2020, yaitu delapan kasus sehari.
Akan tetapi, pelonggaran dalam level apa pun tetap memiliki potensi penularan baru. Di Korea Selatan, yang dipuji dunia karena respons pandeminya yang bagus, sekalipun. Awal Mei 2020 muncul kluster baru penularan di kawasan hiburan malam Itaewon dan beberapa hari terakhir sekitar 80 kasus baru muncul di salah satu kawasan pergudangan. Korea Selatan pun kembali memberlakukan pembatasan sosialnya.
Baca juga : Kasus Melonjak Pasca-pelonggaran, Korsel Berlakukan Kembali Pembatasan Sosial
Sementara Robert Koch Institute (RKI) di Jerman menggunakan data angka reproduksi atau potensi produksi (R0) sebagai patokan. Semakin angkanya mendekati nol, artinya pandemi kian terkendali. Jika potensi penyebaran mencapai satu, misalnya, itu berarti satu orang yang positif bisa menularkan penyakit kepada satu orang yang lain.
Akan tetapi, dalam menentukan kapan pelonggaran dilakukan, RKI tidak hanya melihat angka reproduksi. Mereka juga mempertimbangkan jumlah kasus baru harian, jumlah ruang perawatan intensif (ICU) yang ada untuk merawat pasien Covid-19, dan jumlah tes yang dilakukan.
Baca juga : Diperlukan Tes Massal Sebelum Pembatasan Dilonggarkan
Serupa dengan Korea Selatan, Thailand juga mulai melonggarkan pembatasan sosialnya pada 3 Mei 2020. Saat itu, kasus baru harian Covid-19 hanya enam kasus atau hari ketiga dengan kasus baru kurang dari 10 kasus. Pelonggaran tahap kedua dilakukan pada 17 Mei 2020.
Sementara negara tetangga kita, Singapura, berencana melonggarkan pembatasan sosial mulai 1 Juni 2020 setelah penambahan kasus baru harian menunjukkan tren yang menurun sejak 21 April 2020. Pemerintah Singapura berencana melakukan pelonggaran dalam tiga tahap. Perpindahan setiap tahapnya tidak ditentukan oleh tanggal, tetapi perkembangan situasi terbaru.
Setiap negara yang melonggarkan pembatasan sosial menentukan urutan bidang usaha apa saja yang boleh kembali beraktivitas secara bertahap dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat. Selain itu, pasca-pelonggaran, dunia usaha pun seharusnya tidak hanya menerapkan protokol kesehatan, tetapi mampu beradaptasi dengan mencari praktik atau model bisnis baru di tengah pandemi.
Sebenarnya Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pun pada 13 April 2020 telah memberikan peringatan kepada negara-negara di dunia bahwa melonggarkan kebijakan pembatasan sosial, karantina wilayah, penutupan wilayah, atau apa pun namanya tidak bisa dilakukan sekaligus. Pemerintah setiap negara harus tetap waspada akan munculnya lonjakan kasus dan menerapkan protokol kesehatan di semua aspek.
Karantina wilayah harus dibuka secara strategis, tidak sekaligus, untuk mencegah meluasnya penyebaran. ”Tidak membuka sekaligus karantina wilayah sangat penting agar orang-orang bisa kembali bekerja dan ekonomi kembali bergerak secepatnya,” kata Ketua Gugus Tugas Penanganan Covid-19 WHO Maria van Kerkhove.
Bahkan, Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus menyampaikan, ada enam kriteria yang harus dipenuhi jika negara ingin melonggarkan kebijakan karantina wilayahnya.
Baca juga : Kapan Sebaiknya ”Lockdown” Mulai Dilonggarkan?
Pertama, laju penyebaran atau penularan terkendali. Kedua, sistem kesehatan berfungsi dengan baik dalam mendeteksi, memeriksa, mengisolasi, dan merawat setiap kasus Covid-19 serta melacak setiap kontak kasus. Ketiga, risiko penularan di tempat-tempat tertentu, seperti panti jompo dan fasilitas kesehatan, bisa diminimalkan.
Keempat, tindakan pencegahan penularan yang benar di tempat-tempat penting, seperti tempat kerja dan sekolah, dijalankan dengan disiplin. Kelima, kasus impor bisa dikendalikan. Keenam, masyarakat sepenuhnya teredukasi, terlibat, dan mampu menyesuaikan dengan tatanan normal baru.
Kriteria tersebut sebenarnya tidak mudah untuk dipenuhi oleh kebanyakan negara. Sebab, itu artinya, meski belum ada vaksin dan terapi definitif, negara dengan partisipasi rakyatnya sudah mampu mengendalikan pandemi Covid-19 dan sistem kesehatan siap kembali bekerja maksimal apabila terjadi lonjakan kasus kembali.
Faktanya, ada negara yang, walaupun kasus baru hariannya masih ratusan dan trennya masih naik atau rumah sakitnya nyaris kolaps, sudah tak tahan ingin melonggarkan pembatasan sosialnya demi ekonomi.
Hingga vaksin atau terapi definitif untuk Covid-19 ditemukan, tak ada batas aman bagi negara mana pun. Semua negara di dunia masih bisa mengalami lonjakan kasus.
Oleh karena itu, sekalipun pelonggaran sudah dilakukan, protokol kesehatan, seperti sering cuci tangan, menjaga jarak fisik, menutup mulut dan hidung saat batuk atau bersin, serta memakai masker, harus tetap diterapkan. Sistem kesehatan pun harus tetap berjalan melakukan deteksi, tes yang luas, menelusuri kontak kasus, dan mengisolasi mereka yang positif.
Masa depan dunia sepertinya akan mendekati apa yang sudah diprediksi para ilmuwan di University of Harvard melalui pemodelan matematika dengan komputer yang mereka lakukan dan dipublikasikan di jurnal Science.
Mereka menyatakan bahwa pembatasan sosial atau karantina wilayah yang dilakukan hanya satu kali untuk mengendalikan Covid-19 tidaklah cukup. Mereka mengasumsikan, Covid-19 akan bersifat musiman sehingga dengan belum adanya vaksin dan terapi definitif, pembatasan sosial yang selang-seling perlu dilakukan untuk mencegah rumah sakit kolaps.
”Yang sepertinya perlu dilakukan ketika intervensi lain lemah adalah menerapkan periode pembatasan sosial yang berselang sampai tahun 2022,” kata Stephen Kissler, peneliti utama riset tersebut.
Dengan kata lain, publik harus mampu menyesuaikan diri dengan mengubah perilaku, menerapkan protokol kesehatan sehari-hari, agar terhindar dari infeksi Covid-19. Di saat yang sama, sistem kesehatan juga harus tetap berada pada tingkat kewaspadaan tertinggi untuk mengantisipasi kemungkinan lonjakan kasus. Ketika lonjakan kasus benar terjadi, bukan tidak mungkin pembatasan sosial kembali diberlakukan.
Perubahan perilaku, protokol kesehatan, atau keandalan sistem kesehatan merespons wabah bukanlah normal baru yang hanya dilakukan pasca-pelonggaran pembatasan sosial. Hal tersebut sesungguhnya sudah dijalankan sejak Covid-19 merebak beberapa bulan lalu. Jika selama pembatasan sosial tiga hal itu sudah berjalan dengan baik, masa pasca-pelonggaran pun kemungkinan akan lebih bisa terkendali. (AFP)