Perang Melawan Covid-19, Akankah Menjadi Perang yang Kita Menangkan?
Pelanggaran demi pelanggaran terus terjadi saat penerapan PSBB. Ada pemahaman berbeda di dalam masyarakat dalam memandang Covid-19
Rendahnya kepatuhan warga terhadap aturan pembatasan sosial tidak bisa dipandang sebagai faktor yang berdiri sendiri. Selain ketidakdisiplinan dari masyarakat itu sendiri, keacuhan mereka terhadap PSBB juga dipengaruhi kebijakan pemerintah yang mendua. Perang melawan Covid-19 diwarnai pemahaman yang berbeda oleh masyarakat.
Kedisiplinan masyarakat untuk menaati aturan selama pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di Tangerang Selatan masih rendah. Di sejumlah ruas jalan, kepadatan terjadi. Tempat usaha yang tidak termasuk sektor yang dikecualikan untuk buka pun masih beroperasi.
Di Jalan Raya Serpong, di antara deretan toko-toko yang tutup pada Selasa (19/5/2020) siang, ada beberapa toko yang dilarang beroperasi, tetapi masih buka. Salah satunya toko perlengkapan elektronik. Tidak ada pengunjung di dalam toko saat itu.
Riki (40), salah seorang karyawan di toko itu, mengatakan, tempat kerjanya memang dilarang buka selama PSBB. Namun, pemilik toko memilih tetap buka karena harus membayar pengeluaran, seperti gaji pegawai dan listrik.
Mereka menyadari betul dengan risiko yang diambil. Petugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) mengintai setiap saat. Jika ketahuan, toko akan disegel. Beberapa tempat usaha di sekitar sana juga sudah disegel Satpol PP. Oleh sebab itu, mereka harus cermat melihat situasi. Pernah suatu ketika pintu toko dibuka sebagian agar tidak mengundang kecurigaan petugas Satpol PP.
Baca juga: Dampak Aturan Mudik Tak Jelas, Serba Salah PO Bus Saat Pandemi
”Satpol PP itu mondar-mandir di sekitar sini. Kalau mereka datang, kami harus tutup,” kata Riki yang merupakan warga Serpong, Tangerang Selatan, Banten.
Riki mengakui, membuka toko merupakan sebuah bentuk pelanggaran PSBB. Namun, kata dia, ada alasan tertentu yang membuat Riki dan manajemen toko memutuskan tetap buka.
Bagi mereka, sepanjang menerapkan protokol kesehatan, bukan merupakan masalah besar jika toko tetap buka. Dari pengamatan Kompas di area depan toko telah tersedia tempat cuci tangan. Selain itu, Riki dan rekan-rekannya mengenakan masker. Di area rak toko terpampang tulisan peringatan bagi pengunjung untuk menjaga jarak.
Menurut dia, toko elektronik kecil dan toko lain yang tidak berpotensi menyedot massa mestinya dibiarkan beroperasi. Ia meminta pemerintah dan Satpol PP memfokuskan pengendalian di stasiun dan pasar tradisional yang lebih berpotensi menimbulkan kerumunan.
Riki mengisahkan, pada awal-awal PSBB tahap pertama di Tangerang Selatan, manajemen toko sempat mengikuti peraturan dengan menutup toko selama beberapa hari. Namun, lambat laun, dari informasi di media sosial, terlihat kerumunan warga masih terjadi di sejumlah titik, seperti pasar tradisional. Pusat perbelanjaan pun masih ada yang buka. Kemudian, pada 7 Mei 2020, pemerintah pusat memutuskan membuka transportasi publik demi mengakomodasi mobilitas para pekerja yang dikecualikan selama PSBB.
Ekses terbesar kebijakan itu salah satunya adanya kerumunan di Bandara Soekarno-Hatta pada 14 Mei 2020 pukul 04.00. Calon penumpang mengantre panjang untuk menjalani verifikasi dokumen sebagai salah satu syarat bepergian.
Selain keputusan untuk membuka kembali transportasi umum, sejumlah kebijakan pemerintah pusat juga dinilai Riki tidak konsisten atau mendua. Misalnya, ketika Presiden Joko Widodo sempat tidak secara tegas melarang mudik dan rencana untuk melonggarkan PSBB secara bertahap meski tren peningkatan kasus Covid-19 belum mengalami penurunan.
Melihat banyaknya pelanggaran selama PSBB ditambah kebijakan pemerintah yang mendua, kepercayaan Riki terhadap pemerintah terkikis. Riki merasa pemerintah kurang serius menanggulangi Covid-19. Ia pun kini memiliki pembenaran pribadi untuk tetap membuka toko.
Baca juga: Kepemimpinan Tegas dan Julas Kunci Keberhasilan Jerman
Baginya, jika mengikuti peraturan PSBB dengan menutup toko, sementara pelonggaran oleh pemerintah mulai terjadi, ia dan keluarganya tidak akan bisa makan.
”Kan, tidak adil, dong, kami disuruh tutup, tetapi di beberapa tempat pelanggaran dibiarkan, bandara dan stasiun dibuka. Justru di sana yang rawan terjadi kerumunan, bukan di toko kami,” katanya.
Kan, tidak adil, dong, kami disuruh tutup, tetapi di beberapa tempat pelanggaran dibiarkan, bandara dan stasiun dibuka. Justru di sana yang rawan terjadi kerumunan, bukan di toko kami.
Kepala Seksi Penyelidikan dan Penyidikan Satpol PP Tangsel Muksin Al Fachry ketika dikonfirmasi tidak membenarkan apa yang diutarakan Riki. Menurut Muksin, toko kecil ataupun besar, selama termasuk di luar sektor yang dikecualikan saat PSBB, wajib untuk berhenti beroperasi.
Satpol PP, katanya, juga patroli ke sejumlah pasar tradisional di Tangsel untuk memastikan protokol kesehatan dijalankan. Gerai-gerai selain yang menjual bahan pokok diminta tutup. Sejauh ini, sudah ada 400 lebih tempat usaha yang disegel Satpol PP Tangsel. Dua tempat usaha yang berkali-kali disegel, tetapi kemudian buka kembali sedang direkomendasikan untuk dicabut izin usahanya.
”Aturannya jelas, kalau tetap buka, akan kami tutup. Mau itu toko besar atau kecil. Memang masyarakat ini bandel. Ada yang sudah kami segel tokonya, tetapi malah buka lagi secara sembunyi-sembunyi,” katanya.
Baca juga: Kota Bekasi Menuju Senja PSBB
Warga yang bebal
Saat ini, wilayah Tangerang Raya sudah memasuki PSBB tahap ketiga yang akan berakhir pada 31 Mei 2020. Ancaman serius dari Covid-19 bukannya membuat masyarakat kian waspada. Di sebagian kalangan masyarakat, ada tipe-tipe warga yang bebal. Mereka bahkan tidak percaya Covid-19 merupakan wabah yang berbahaya.
Ketika ditemui di Taman Perdamaian, Tangsel, Rohyana (38) tengah duduk-duduk dengan berkerumun bersama tiga rekannya di bangku taman. Rohyana tidak mengenakan masker. Sehari-hari ia bekerja menjadi terapis pijat. Pandemi ini membuat dia kesulitan memperoleh pesanan sehingga memaksanya untuk berkeliling menawarkan jasa.
”Hampir setiap hari saya keluar rumah, keliling, tetapi tidak pernah kenapa-kenapa,” kata Rohyana.
Kondisi itu membuat Rohyana tidak waspada dan terkesan meremehkan Covid-19. Ia juga berharap pemerintah segera menyudahi PSBB sehingga masyarakat bisa beraktivitas secara normal kembali.
”PSBB tidak efektif. Ada PSBB juga, kan, banyak yang melanggar, sekarang sudah kayak hari-hari biasa, tetap macet,” ujarnya.
Hal serupa juga diungkapkan Rusdi Yanto (37), warga Pamulang, Tangsel. Rusdi sempat tidak percaya SARS-CoV-2 atau virus penyebab Covid-19 benar-benar eksis. Itu karena Rusdi yang berprofesi sebagai pengendara ojek daring setiap harinya keluar rumah dan berkontak fisik dengan banyak orang. Namun, ia tidak pernah merasakan gejala Covid-19 hingga saat ini.
Baca juga: Perpanjangan atau Penghentian PSBB DKI Menunggu Evaluasi
”Sempat ragu juga ini virus benaran ada atau tidak. Buktinya saya setiap hari keluar rumah, tetapi sehat-sehat saja,” katanya.
Pandangan Rusdi kemudian berubah setelah salah seorang tetangganya yang baru kembali dari Malaysia berpulang sebulan lalu. Tetangganya terkonfirmasi meninggal karena Covid-19. Sejak itulah Rusdi mulai percaya Covid-19 benar-benar berbahaya.
Sempat ragu juga ini virus benaran ada atau tidak. Buktinya saya setiap hari keluar rumah, tetapi sehat-sehat saja.
Wali Kota Tangerang Selatan Airin Rachmi Diany tidak bisa memastikan apakah PSBB akan terus diperpanjang atau tidak. Jika di kemudian hari ternyata PSBB tidak diperpanjang lagi, ia menilai SARS-CoV-2 tidak akan bisa hilang secara total.
Sepanjang obat atau vaksin Covid-19 belum ditemukan, ia berniat memanfaatkan PSBB tahap ketiga sebagai ajang pembiasaan diri bagi masyarakat Tangsel untuk menjadikan protokol kesehatan sebagai bagian dari gaya hidup. Dengan demikian, apabila nanti PSBB tidak akan diperpanjang lagi, masyarakat tetap akan terlindungi dari SARS-CoV-2 karena sudah terbiasa menjalankan protokol kesehatan dalam kehidupan sehari-hari.
Baca juga: PSBB Tahap Tiga, Menumbuhkan Gaya Hidup Baru Beradaptasi di Tengah Virus
”Sanksi tetap ada bagi pelanggar PSBB, tetapi PSBB tahap tiga ini lebih ke bagaimana kita menjadikan protokol kesehatan sebagai gaya hidup,” katanya.
Ambisi Airin tersebut boleh jadi bermaksud baik. Namun, jika tidak pernah ada sepemahaman antara pemerintah dan warga, perang melawan Covid-19 akan berakhir menjadi perang yang tidak akan pernah kita menangkan.